Entri Populer

Selasa, 10 Maret 2015

Rumusan hasil pleno kamar tata usaha negara pada tanggal 11-13 April 2012

A. MASALAH TEKNIS


KRITERIA SENGKETA TUN DAN PERDATA

Apa kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa TUN atau sengketa Perdata ?
Untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa TUN atau sengketa Perdata (kepemilikan) kriterianya :
a.       Apabila yang menjadi objek sengketa (objectum litis) tentang keabsahan KTUN, maka merupakan sengketa TUN.
b.      Apabila dalam posita gugatan mem-permasalahkan kewenangan, keabsahan Prosedur penerbitan KTUN, maka termasuk sengketa TUN; atau
c.       Apabila satu-satunya penentu apa-kah Hakim dapat menguji keabsahan KTUN objek sengketa adalah substansi hak karena tentang hal tersebut menjadi kewenangan peradilan perdata; atau
d.      Apabila norma (kaidah) hukum TUN (hukum publik) dapat menyelesaikan sengketanya, maka dapat digolong-kan sebagai sengketa TUN.


PENGERTIAN TEORI MELEBUR (OPPLOSING THEORY)

Kapan suatu KTUN dianggap melebur dalam perbuatan hukum perdata ?
Untuk memastikan suatu KTUN dianggap melebur dalam perbuatan hukum perdata adalah apabila secara factual KTUN yang disengketakan dan diminta diuji keabsahannya ternyata :
a.       Jangkauan akhir dari KTUN diter-bitkan (tujuannya) dimaksudkan untuk melahirkan suatu perbuatan hukum perdata. Termasuk didalam-nya adalah KTUN-KTUN yang diter-bitkan dalam rangka mempersiapkan atau menyelesaikan suatu perbuatan hukum perdata.
b.      Apabila Tergugat dalam menerbitkan KTUN objek sengketa akan menjadi subjek atau pihak dalam perikatan perdata sebagai kelanjutan KTUN objek sengketa tersebut.
c.       KTUN yang berkaitan dengan ijin cerai tidak digolongkan sebagai KTUN yang melebur dalam perbuatan hukum perdatanya (ic.perceraian), karena ijin cerai merupakan ketentuan hukum public (hukum administrasi) sebagai syarat bagi PNS yang akan melakukan perceraian. Dengan demikian ijin cerai merupakan lex spesialis dan dikecualikan dari penerapan teori melebur.

Advokat Yang Boleh Beracara di Pengadilan

Seorang advokat bisa beracara berdasarkan putusan MK No 101/PUU-VII/2009 



MENGADILI

  • Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  • Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
  • Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
  • Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum;
  • Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
  • Memerintahkan pemuatan amar Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.



Atas dasar Putusan MK tersebut dapat diterapkan Pedoman sebagai berikut :